Pemerintah Indonesia memang telah lama mengembangkan desa-desa wisata baru untuk menggenjot kunjungan wisatawan mancanegara. Para pelancong asing ini kini mencari sesuatu yang baru saat menyambangi sebuah negara. Satu persatu desa wisata baru pun bermunculan. Dukungan pemerintah dari sisi infrastruktur utama, dan bantuan swasta untuk infrastruktur pendukung seperti hotel, agen perjalanan, dan lainnya akan menjadikan desa wisata lebih mandiri. Kedatangan turis lokal maupun asing berdampak positif pada kenaikan pendapatan asli daerah (PAD). Untuk meningkatkan animo warga menggali potensi budaya setempat, pemerintah daerah gencar menggelar ajang Festival Desa Wisata.
Indonesia memliliki 967 desa wisata yang tersebar di berbagai propinsi di Indonesa (www.bukutahu.com), melalui program PNPM (program nasional pemberdayaan masyarakat mandiri) oleh Kemenparekraf yang telah dimulai dari tahun 2009, berhasil membentuk 967 desa wisata tersebut. Namun dari 967 desa wisata yang sudah di berikan “label” dengan dikeluarkannya Surat Keputusan Bupati masing-masing Kabupaten di daerah letak desa wisata yang bersangkutan, apakah dan adakah pemantauan atas keberlanjutan kehidupan dewa wisata tersebut?. Berdasarkan Permendagri No 66 tahun 2007 tentang Perencanaan pembangunan desa, pembangunan di desa merupakan model pembangunan partisipatif adalah suatu sistem pengelolaan pembangunan di desa bersama-sama secara musyawarah, mufakat, dan gotong royong yang merupakan cara hidup masyarakat yang telah lama berakar budaya wilayah Indonesia. Sebagaimana disebutkan dalam pasal 5 Permendagri No 66 tahun 2007, karakteristik pembangunan partisipatif diantaranya direncanakan dengan pemberdayaan dan partisipatif. Pemberdayaan, yaitu upaya untuk mewujudkan kemampuan dan kemandirian masyarakat dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara sedangkan partisipatif, yaitu keikutsertaan dan keterlibatan masyarakat secara aktif dalam proses pembangunan.
Dapat diasumsikan melalui peraturan menteri tersebut, bahwa pembangunan, pembentukan desa wisata sangat memerlukan keterlibatan dan partisipasi dari warga desa yang bersangkutan, dan untuk menjaga keberlangsungan kegiatan desa wisata tersebut sangat memerlukan konsistensi dari komitmen seluruh warga. Melalui beberapa survey yang pernah dilakukan, beberapa desa wisata ternyata masih memerlukan sentuhan tangan dari pihak luar desa untuk melakukan pembinaan baik dalam menata kembali operasional desa wisata maupun dalam pembianaan pengembangan dan inovasi produk wisata di desa tersebut.
Pengembangan desa wisata membutuhkan adanya kemitraan yang solid antara tiga unsur utama, yaitu pemerintah, swasta, dan masyarakat, yang masyarakat lokal menjadi pemangku kepentingan dari kerja sama tersebut. The golden triangle tersebut hanya dapat berhasil diterapkan apabila pemrakarsa kemitraan mengerti hal-hal yang menjadi pemicu terjadinya kerja sama.
Kegiatan Kuliah Kerja Nyata, program dan kegiatan pengabdian kepada masyarakat dan CSR dari perusahaan-perusahaan ke desa-desa membawa misi dan niat untuk membagi ilmu bagi pengembangan potensi alam dan manusia didesa tersebut. Namun harus di sadari bahwa peran golden triangel mempunyai porsinya masing-masing.
Masing-masing harus menyadari, memahami dan menjalankan peran dan wewenangnya masing-masing, agar pelaksanaan pemgembangan desa wisata berhasil dengan konsep PRA.
Peran dan Kewenangan Pemerintah, yaitu (1) melakukan pembinaan kualitas produk dan kemasan kerajinan dan kuliner khas desa sebagai unsur kenangan wisata; (2) melakukan penataan dan konservasi lingkungan kawasan yang menjadi ciri khas desa wisata; (3) melakukan perbaikan/pengadaan infrastruktur persampahan dan sanitasi; (4) melakukan gerakan masyarakat untuk mewujudkan sapta pesona; (5) melakukan pembuatan informasi dan fasilitas kepariwisataan; (6) melakukan perbaikan/peningkatan kualitas ruang publik, pedestrian dan landscape desa/lingkungan untuk mendukung sapta pesona; dan (7) dukungan pemberdayaan terhadap kelompok sadar wisata (Pokdarwis) dalam pelestarian lingkungan pariwisata (kawasan Hutan, dan sawah).
Peran dan Kewenangan Swasta (Investor, Perguruan Tinggi, LSM, pelaku pariwisata lainnya), yaitu (1) melakukan promosi terintegrasi antar pengelola objek wisata untuk menggerakkan kunjungan wisatawan antar objek wisata; (2) pembuatan dan pemasaran paket-paket wisata yang kompetitif yang terjangkau masyarakat; (3) pelatihan kewirausahaan, pelatihan keterampilan individual terkait usaha di bidang pariwisata (pelatihan bahasa Inggris, pelatihan hospitality, pelatihan mengenal budaya, dan karakteristik wisatawan dalam dan luar negeri); (4) pengembangan kelompok usaha bersama masyarakat; dan (5) menjalankan bisnis perhotelan, restoran, suvenir, dan lain-lain.
Peran masyarakat Lokal, yaitu (1) menyediakan sebagian besar atraksi sekaligus menentukan kualitas produk wisata. Pengelolaan lahan pertanian secara tradisional, upacara adat, kerajinan tangan dan kebersihan merupakan beberapa contoh peran yang memberikan daya tarik bagi pariwisata; (2) pelaku budaya, misalnya, kesenian yang menjadi salah satu daya tarik wisata; dan (3) penyedia akomodasi dan jasa pemandu wisata, penyediaan tenaga kerja, produk makanan khas, kerajinan lokal, kesenian lokal, dan sebagainya.
Ada unsur yang andilnya turut berperan namun dalam Wearing (2001) tidak masuk dalam triangel, yaitu badan pengelola. Peran dan Kewenangan Badan Pengelola, yaitu (1) badan pengelola sebagai pengelola utama dan pengarah dalam perlindungan, perawatan, pelestarian guna mempertahankan fungsinya sebagai desa wisata (cultural and natural heritage); (2) melakukan pengaturan yang diperlukan dalam rangka pengembangan Desa; (3) menyediakan dan mengoperasikan segala fasilitas untuk menunjang kegiatan usaha; (4) memberikan dan mecabut izin penempatan, menetapkan persyaratan-persyaratan, dan menetapkan serta melakukan pungutan segala usaha komersial di Desa; (5) menetapkan dan memungut biaya/retribusi dan pungutan lainnya atas pemanfaatan fasilitas yang tersedia dan hasil seluruhnya merupakan pendapatan badan pengelola; (6) melakukan perencanaan dalam bidang pengembangan atraksi/produk wisata, pengembangan fasilitas wisata; (7) melakukan pengorganisasian dalam bidang penguatan dan pengembangan kelembagaan; (8) melakukan pengarahan untuk peningkatan kompetensi pengelola objek wisata agar sesuai dengan tujuan pengembangan desa wisata yang berkelanjutan; dan (9) melakukan evaluasi dan pengawasan terhadap aktivitas kepariwisataan agar tercapainya tujuan pengembangan desa wisata yang berkelanjutan.
Sumber:
Wearing, S.L. and Donald, Mc. 2001. “The Development of Community Based Tourism: Re-Thinking The Relationsgip between Tour Operators and Development Agents as intermediaries in rural and isolated area Communities.” Journal of Sustainable Tourism.