[vc_row][vc_column width=”3/4″ el_class=”vc_sidebar_position_right” offset=”vc_col-lg-9 vc_col-md-9 vc_col-sm-12″][stm_post_info css=”.vc_custom_1437111129257{margin-bottom: 0px !important;}”][vc_custom_heading text=”Catatan Gowes Bpk Arief F. Rachman (Dosen STP Trisakti) Day 6″ font_container=”tag:h3|text_align:left” use_theme_fonts=”yes”][vc_column_text]
Kami memulai gowes pada pukul 06.30 pagi. Suasana hari senin di Kota Maumere cukup ramai, siswa sekolah pergi memulai hari mencari ilmu dan para pekerja sudah sibuk menuju lokasi kerjanya masing-masing. Kami melewati bagian kota ini dan melewati Kantor Bupati Sikka.
40 km pertama di rute Maumere-Larantuka kami nikmati dengan kecepatan rata-rata 23,5 km per jam. Namun angin gunung ternyata memberi pengaruh besar terhadap kecepatan kami juga. Pada km 22 sepeda rekan Thio mengalami bocor ban sehingga kami harus mengganti ban dalam.
Pada saat mengganti ban dalam muncullah siswa SD yang akan menuju sekolah. Mereka menyapa kami dengan panggilan mister, mister. Lalu kami menyapa balik, kami bilang “hallo…” Lalu dengan iseng kami meminta mereka untuk menyanyikan lagu Indonesia Raya. Merekapun bersedia karena kami janjikan hadiah. Dengan bersemangat mereka menyanyikan Lagu Indonesia Raya.
Setelah memasuki 40 km tepatnya di Desa Nebe, kami mulai mendapatkan tanjakan pada ketinggian 100 meter dpl. Tanjakan panjang dan ada juga berkelok kami nikmati dengan sabar. Mirip dengan rute di hari dari Labuan Bajo ke Lembor. Jalan menanjak ini sejauh 30 km dengan gradient 2-5 %. Udara semakin panas ketika melalui jalan menanjak. Kebutuhan kalori sepertinya makin diperlukan sehingga kami memutuskan untuk beristirahat dan carbo loading. Kecepatan pada jalan menanjak dari Desa Nebe hanya 19 km per jam. Strategi penggunaan gear sangat membantu supaya endurance tetap terjaga dan menghindari kram pada betis dan paha. Penggunaan aplikasi samsung health cukup membantu untuk mengatur kecepatan gowes, sehingga setiap satu kilometer selalu diinformasikan jarak yang sudah ditempuh, sisa jarak, durasi bersepeda dan rata-rata kecepatan. Memasuki Kecamatan Tolibara jalan semakin menanjak. Cuaca sudah mulai mendung kembali dan angin berhembus kencang pada saat elevasi sudah mencapai 300-400 meter dpl. Tidak lama hujanpun turun membasahi jalan dan diri kami.
Supporting car sudah berada di belakang kami pada pukul 11, itu arrinya kami sudah terkena Cut of Time pada rencana perjalanan kami menuju Larantuka. Pilihan kami apakah lanjut gowes atau evakuasi? Namun tidak berapa lama kemudian kami memasuki perbatasan antara Kabupaten Sikka dan Kabupaten Flores Timur. Kami bersyukur karena selanjutnya adalah jalan menurun sejauh 9 km sampai ke Kecamatan Boru. Jalan menurun dari ketinggian 527 meter dpl sampai ke Boru pada ketinggian 300 meter dpl. Kami langsung terasa lapar dan dingin.
Akhirnya kami berhenti untuk santap siang di sebuh rumah makan padang. Ternyata rumah makan ini memang dikelola oleh keluarga yang berasal dari Pariaman. “Cocok rasanya”, ujar Nani yang ternyata menyukai makanan ini. Kamipun menikmati buah nanas yang khas dari flores, rasanya manis dan sedikit asam. Setelah 45 menit santap siang kami akhirnya berdiskusi untuk trip menuju Larantuka yang masih tersisa 54 km lagi (dengan medan turun naik). Dengan cuaca yang hujan dan dingin maka kami putuskan untuk evakuasi. Beruntung kendaraan yang kami sewa cukup besar untuk lima sepeda. Sepeda saya dan Pak Eddy diletakan di atas mobil, sedangkan sepeda rekan Thio, Nani dan Ireng dimasukkan di dalam minibus.
Perjalanan menuju Larantuka dari Boru ternyata cukup memakan waktu. Sekitar 1 jam kami baru tiba di Kota Larantuka dan langsung menuju Keuskupan Larantuka. Kami bertemu dengan Uskup Larantuka, Bapak Mgr. Frans Kopong Kung.
Beliau menyambut kami dengan sangat ramah dan kami juga diberi hidangan makanan khas Larantuka seperti kue rambut dan jagung titi dan kopi Flores.
Kami berbincang di sebuah saung dengan pemandangan laut yang di sekitarnya ada Pulau Solor, Pulau Adonara, Pulau Lembata dan Pulau Alor. Perbincangan berkisar masa lalu rekan Ireng yang dekat dengan Bapak Uskup.
Sampai akhirnya kami berpisah setelah hampir satu jam berkunjung. Setelah berkeliling Kota Larantuka dan kunjungan ke Bukit Doa maka kami kembali ke Maumere. Sampai di Maumere kami langsung menuju tempat ikan bakar untuk santap malam kami.
[/vc_column_text][vc_row_inner][vc_column_inner][vc_images_carousel images=”7711,7712,7713,7714,7715,7716,7717,7718″ img_size=”large” slides_per_view=”2″ autoplay=”yes” wrap=”yes” title=”Maumere-Larantuka”][/vc_column_inner][/vc_row_inner][stm_post_author][stm_post_comments][/vc_column][vc_column width=”1/4″ offset=”vc_hidden-sm vc_hidden-xs”][vc_widget_sidebar sidebar_id=”default” el_class=”sidebar-area-right sidebar-area”][stm_post_tags][/vc_column][/vc_row]