Kuliner Khas Pekalongan
(Garang Asem, Nasi Megono Dan Soto Tauto)

[vc_row][vc_column width=”3/4″ el_class=”vc_sidebar_position_right” offset=”vc_col-lg-9 vc_col-md-9 vc_col-sm-12″][stm_post_info css=”.vc_custom_1437111129257{margin-bottom: 0px !important;}”][vc_custom_heading text=”Rafaella Amadea Matitaputty & Steven Sastra Kusuma” font_container=”tag:h3|text_align:left” use_theme_fonts=”yes”][vc_column_text]


Bulan April 2017, Mahasiswa S1 Hospitaliti dan Pariwisata Sekolah Tinggi Pariwisata Trisakti diberikan kesempatan untuk melakukan kegiatan pengabdian pada masyarakat atau Kuliah Kerja Nyata (KKN) di Kampoeng Batik Kauman, Pekalongan. Ini adalah pengalaman pertama semua mahasiswa S1 untuk berkunjung dan tinggal selama kurang lebih 1 bulan di Pekalongan.

Tiba di suatu daerah baru, belum lengkap rasanya jika tidak mencicipi makanan khas daerah tersebut. Oleh karena itu, kelompok KKN Mahasiswa S1 Hospitaliti dan Pariwisata STP Trisakti selalu menyempatkan waktu untuk berwisata kuliner, apalagi posisi Kampoeng Batik Kauman tempat mahasiswa mengabdi, sangat dekat dengan alun-alun kota, dimana banyak pedagang yang menjajakan makanan khas Pekalongan disitu. Bahkan, di dalam Kampoeng Batik Kauman pun terdapat banyak penjual makanan khususnya nasi megono dan soto tauto. Perjalanan kali ini diawali dengan menyantap soto tauto di warung Ibu Khodijah di Kauman gang 1.

Soto tauto merupakan makanan khas Pekalongan yang paling terkenal. Konon ceritanya, soto tauto pada awalnya merupakan makanan orang Tionghoa yang tinggal di Pekalongan. Mereka juga sering menjajakannya dari rumah ke rumah. Namun, seiring waktu berjalan, sedikit sekali keturunan Tionghoa yang melanjutkan usaha orang tuanya untuk berjualan soto tauto. Akhirnya, usaha ini diteruskan oleh pembantu mereka yang adalah masyarakat pribumi.

Berbeda dengan soto yang lain, soto tauto atau biasanya disebut tauto (saja) sangatlah unik karena disajikan menggunakan tauco. Tauco ini merupakan fermentasi dari kacang kedelai yang berasal dari budaya Tionghoa. Tauco sendiri terdapat dalam 2 rasa, namun, yang digunakan dalam soto adalah tauco manis. Uniknya lagi, tauco tersebut tidak disajikan begitu saja, karena tauco terlebih dahulu dimasak menjadi sambal sehingga memberikan rasa pedas manis. Daging yang dipakai pun bervariasi, mulai dari sapi, kerbau, dan ayam. Bahkan di warung Ibu Khodijah, soto tauto ada yang menggunakan tahu dan tempe. Karena kali ini kami menyantap tauto sebagai sarapan, maka kami memilih isi soto yang lebih ringan yaitu tahu dan tempe. Uniknya, tahu dan tempe digoreng renyah terlebih dahulu, disajikan bersama bihun dan dicampur dengan kuah tauto yang bercita rasa pedas manis. Hidangan tauto tempe tahu sangat cocok untuk mahasiswa seperti kami, karena selain rasanya yang enak dan mengenyangkan, kami hanya perlu membayar Rp. 5.000,- per porsinya, sudah termasuk 1 gorengan dan 1 lontong. Jika kita memesan soto tauto dengan isi daging dan 1 lontong, maka kita perlu membayar Rp. 10.000,-.

Tidak sampai disitu, pada siang hari kami berjalan kaki menuju alun-alun Kota Pekalongan. Disana tedapat warung makan Haji Masduki yang sangat terkenal dengan garang asem dan nasi megono khas pekalongan. Pak Haji Masduki sendiri sudah berjualan garang asem sejak tahun 1952. Awalnya beliau hanya berjualan di gerobak kecil, hingga pada tahun 1980 beliau membuka gerai pertamanya di alun-alun Kota Pekalongan. Pak Haji Masduki sendiri sudah lama meninggal, sehingga usaha yang sekarang dilanjutkan oleh anak cucunya.

Warung makan Haji Masduki menjual garang asem yang disajikan berbeda dengan garang asem khas Jogja yang dibungkus daun pisang dan dikukus. Garang asem Haji Masduki terbuat dari daging sapi yang diberi tambahan pindang telur ayam. Jika garang asem pada umumnya mirip dengan pepes, garang asem khas Pekalongan rasanya lebih mirip dengan rawon, karena ternyata warna kuah yang cokelat berasal dari kluwek yang juga merupakan bumbu dasar rawon.

Untuk menjadi peneman garang asem telur, kita juga memesan nasi megono. Nasi megono adalah salah satu makanan khas Pekalongan yang memiliki cita rasa unik, dan sangat enak di lidah. Megono terbuat dari nagka muda atau gori yang dicincang kasar dan dicampur dengan parutan kelapa muda serta bumbu-bumbu khas yang sedap. Selain itu yang paling jelas tercium dari aromanya adalah bunga combrang yang menambah selera makan kita. Untuk pelengkap, nasi megono disajikan dengan sayur tomat pete. Sayur ini hanya berisi tomat hijau dan pete, yang dimasak dengan kuah santan sehingga menghasilkan rasa yang sangat gurih. Untuk satu porsi garang asem dan nasi megono ditambah dengan segelas es teh, kita hanya perlu membayar sebesar Rp. 30.000,-. Harga tersebut tentunya pas dengan kenikmatan hidangan yang kita santap.

Pelayanan yang diberikan oleh karyawan di warung makan Haji Masduki patut diberi acungan jempol. Walaupun semua karyawannya adalah laki-laki, mereka sangat cekatan dan ramah dengan semua pengunjung. Kami bahkan dibebaskan untuk merekam kegiatan mereka, dan bahkan mereka mau berbagi cerita tentang sejarah warung makan Haji Masduki.

Setelah setengah hari berkeliling mencicipi kuliner khas Pekalongan, kami memutuskan untuk kembali ke rumah dan beristirahat sejenak untuk kemudian melanjutkan tugas kami. Masih banyak kuliner khas Pekalongan lainnya yang belum kami coba. Tentunya kami tak sabar menunggu hari berikutnya untuk dapat melakukan wisata kuliner sekaligus menikmati berjalan kaki di sepanjang jalan Kota Pekalongan.


[/vc_column_text][vc_row_inner][vc_column_inner][/vc_column_inner][/vc_row_inner][stm_post_author][stm_post_comments][/vc_column][vc_column width=”1/4″ offset=”vc_hidden-sm vc_hidden-xs”][vc_widget_sidebar sidebar_id=”default” el_class=”sidebar-area-right sidebar-area”][stm_post_tags][/vc_column][/vc_row]

Visited 191 times, 1 visit(s) today
Facebook
Twitter
LinkedIn
WhatsApp
Pinterest

Leave a Reply